02 January 2008

Toyota Avanza dan Daihatsu Xenia

Apakah era AFTA akan mengubah pola dasar mobil niaga yang selama ini menguasai dan mengakar kuat pasar domestik? Secara teori, memang harga mobil bakal turun. Tapi, jangan buru-buru senang dulu. Sebab, jika menilik investasi dalam industri otomotif di tengah krisis tempo hari amat berdampak pada likuiditas agen tunggal di dalam negeri. Contohnya, ada utang yang tak terbayar yang berakibat pada kepemilikan saham agen tunggal mobil diambil alih prinsipal dari negara asalnya.

Walhasil kini kebijakan manufakturing dikontrol langsung oleh pemilik merek. Contoh seperti saham Indomobil yang tinggal 10 persen dari 51 persen. Sahamnya terpaksa dijual ke Suzuki Motor Corporation, Jepang, selaku pemilik merek yang kini menguasai 90 persen saham PT Indomobil Sukses Internasional.
Nasib serupa juga dialami PT Toyota Astra Motor ke Toyota, karena alasan yang sama. Begitu pula PT Honda Prospect Motor yang kini tak jauh beda dengan keduanya sejak diambil alih oleh Honda Motor Co., Ltd.

Tapi sisi positifnya varian baru akan lebih cepat berkembang, apalagi sejak berlakunya AFTA maka komponen antar-ASEAN mendapat tarif bea masuk rendah yang semula 30 persen menjadi 5 persen. Masuknya prinsipal pada gilirannya akan memangkas birokrasi impor komponen dari berbagai sumber sesama pabrik, misalnya antarpabrik Toyota di Indonesia, Thailand, Malaysia, dan Filipina.

Tahun 2003 merek unggulan seperti Toyota Kijang tetap menguasai pasar, diikuti model sejenisnya seperti Isuzu Panther, Mitsubishi Kuda, Daihatsu Taruna, dan minibus Suzuki dan Daihatsu. Namun dari sisi model cenderung ke arah sedan serbaguna atau populer dengan istilah Small MPV (multi-porpuse van), seiring dengan dibukanya keran impor dan dipelopori oleh pabrik mobil Korea, kemudian diikuti oleh Jepang.

Indikasi tersebut terlihat dari semakin berkembangnya varian jenis ini dari berbagai merek, misalnya sejak Oktober lalu merilis Aerio. Berdasarkan riset pasar yang dilakukan Indomobil ternyata konsumen di Indonesia paling menyukai mobil serbaguna (multi purpose vehicle) dengan harga berkisar Rp 120 juta hingga Rp 125 juta.

Tapi berita hebat seputar otomotif yang heboh adalah kolaborasi antara PT Toyota Astra Motor dan PT Astra Daihatsu Motor untuk memproduksi kendaraan berharga di bawah Rp 100 juta, menggembirakan sekaligus mengejutkan.

Menggembirakan karena banyak konsumen yang �pas-pasan� akan segera dapat memiliki mobil baru, Toyota Avanza atau Daihatsu Xenia. Mengagetkannya, Toyota dan Daihatsu secara tak langsung tak memberi peluang merek lain untuk merebut pasar otomotif tahun depan di kelas Rp 100 juta hingga Rp 150 juta. Segmen pasar otomotif yang diambil kedua merek tadi dinilai cukup bagus dan bisa dikatakan gemuk alias sangat besar.

Kedua merek itu semakin mengokohkan posisinya sebagai kendaraan yang terpopuler. Segmen yang mungkin gigit jari di tahun depan adalah mobil bekas dan city car. Konsumen yang semula menabung dan hanya memiliki dana tipis, mungkin akan beralih untuk membeli yang baru ketimbang yang bekas, toh harganya tak terpaut jauh. City car yang bentuknya mungil apalagi. Harganya yang tak jauh beda, masihkah dilirik konsumen?

Tapi dengan meluncurnya kedua merek tersebut tahun depan, membuat khawatir ATPM yang mengeluarkannya. Kehadiran Daihatsu Xenia yang dipasarkan dengan harga di bawah Rp 90 jutaan diakui petinggi ADM yang mengkha-watirkan Taruna. Kekhawatiran itu terjadi lantaran harga Xenia yang kompetitif itu. �Kita memang agak ketar-ketir dengan Taruna,� ucap Noertjahjo Darmadji, Vice President Director ADM di sela acara peluncuran kedua merek itu di Jakarta belum lama ini.

Menurut data penjualan Gaikindo, penjualan Daihatsu Taruna relatif tidak stabil. Sejak Januari hingga Oktober lalu total penjualannya hanya mencapai 6.201 unit. Dengan demikian rata-rata per bulan penjualan hanya mencapai 620 unit. Padahal, penjualan Xenia ditargetkan menembus angka 1500 unit.

Sekadar informasi, saat ini Daihatsu Taruna dipasarkan dengan harga Rp 105,6 juta sampai Rp 144,6 juta. Sementara harga Daihatsu Xenia yang penampilannya lebih menawan hanya berkisar Rp 77,5 juta � Rp 88,8 juta. Posisi Taruna akan semakin bergoyang dengan hadirnya Toyota Avanza yang basisnya Daihatsu Xenia, yang penampilannya lebih mewah, namun dipasarkan dengan harga di bawah Rp. 100 juta.

Pasar Toyota Kijang pun diduga bakal terkena imbas �senjata makan tuan.� Porsinya akan direbut �adik kandungnya,� Toyota Avanza yang harganya lebih kompetitif. Tapi ketika hal ini dikonfirmasi kepada salah satu petinggi TAM, menurutnya Kijang bisa memuat 9 orang. Dengan kata lain, pangsa pasar Kijang berbeda dengan Avanza. Kita lihat saja perkembangannya tahun depan.

Benarkah pasar otomotif bakal didominasi kedua merek ini tahun depan apa jurus ATPM lain untuk menangkal jurus maut Toyota dan Daihatsu itu?
Dalam diskusi tren bisnis otomotif tahun 2004, Rabu (17/12) yang diikuti wartawan otomotif sejumlah media cetak dan elektronik, terungkap tren bisnis otomotif tetap berjalan mulus walau ditakutkan adanya dampak Pemilu.

Periode yang krusial justru saat pemilihan presiden pada September 2004. Masyarakat belum pernah berpengalaman dengan pemilihan presiden secara langsung. Untuk memperoleh suara dan simpati, sesama calon presiden akan saling menjatuhkan. Ini di-khawatirkan menyulut bentrokan antarpendukung. Tapi jika pada pemilihan parlemen di bulan April, rakyat sudah terbiasa dan berpengalaman, sejauh Pemilu untuk calon legislatif yang pernah dilangsungkan, tak berdampak buruk pada bisnis.

Apa tanggapan pebisnis otomotif sendiri melihat kondisi pasar otomotif tahun 2004?

Gunadi Sindhunata, Pre-siden Direktur PT Indomobil Sukses International, menanggapinya dengan optimistis.

Menurutnya, tahun ini justru penjualan mobil meningkat. Target 340 ribu unit bakal terkejar sebab sampai November 2003 penjualan mencapai angka 320 ribuan unit. Bahkan tahun 2004 diprediksi kenaikannya 0-2 persen.

Menyinggung soal Pemilu, Gunadi menegaskan, memang ada waktu dua bulan �libur� di mana saat Pemilu legislatif (April) dan pemilihan presiden (September). Ia tak merisaukan dampaknya bagi bisnis otomotif. Yang dipikirkan adalah waktu selama setahun itu yang �tersisa� hanya 10 bulan. Jadi, bagaimana memanfaatkan waktu 10 bulan itu seperti layaknya setahun, yakni dengan kerja keras.

Gunadi melihat potensi pasar sepeda motor tahun 2004 lebih cerah dari tahun 2003. Penjualan sepanjang 2003 sebanyak 2,8 juta motor. Ini telah melebihi target. Melihat gelagat ini, para pemain roda dua menargetkan bakal terjual 3,2 juta unit motor untuk tahun 2004.

Menurutnya, negara berkembang dengan GNP tertentu, pasar motornya berkembang. Tapi setelah GNP-nya naik, pasar motor menjadi stagnan tapi pasar mobil yang naik. �Ini yang terjadi di Thailand saat ini. Sementara Indonesia akan mengarah ke sana,� ujarnya.

Menyinggung peluang dan strategi Grup Indomobil memasuki pasar kendaraan roda empat tahun depan, Gunadi mengungkapkan, 9 merek mobil di bawah grupnya juga akan mengeluarkan mobil di bawah Rp 100 juta. Gunadi enggan memberitahu kapan Indomobil akan melansirnya. Tapi khusus tahun depan target grup adalah 700 ribu unit. Ada kenaikan 100 ribu unit dari target tahun 2003 (600 ribu unit).

Serba-Serbi dan Strategi Ganti Peleg

Pasang peleg berdiameter besar dengan dinding ban super tipis memang keren dan jadi tren. Modifikasi belum kelar kalau peleg belum ditukar. Semakin tipis dinding ban, semakin besar peleg, makin tinggi gengsinya.
Tren ini mulai berangkat dari ajang balap yang dengan cepat menular ke ruang-ruang modifikasi. Di sirkuit, peleg besar dengan dinding ban tipis (profile rendah) dan tapak lebar sangat menguntungkan pembalap karena mobil jadi lebih lincah dan responsif ditikungan.

Selain itu diameter ban nyaris tidak berubah, jadi tidak perlu menyesuaikan lagi speedometer dan odometer. Peleg besar juga tampil tampil sportif dan jantan. Tak dipungkiri, faktor inilah pendorong utama maraknya tren ini dimasyarakat.

Mengganti peleg bawaan pabrik (OE/original equipment) dengan yang berdiameter lebih besar dikenal sebagai plus-sizing. Dalam khasanah istilah ini lalu dikenal plus-one, artinya menambah diameter pelg 1 inch dari OE. Contoh dari dari 15 inch jadi 16 inch. Demikian pula plus-two, menambah dua inch, dari 15 inch ke 17 inch, dan seterusnya.

Ternyata menurut pengujian Consumer Report, lembaga perlindungan konsumen di USA, plus-one terbukti menghasilkan keuntungan terbesar dari sisi peforma. Plus-two dan seterusnya hanya memberi tambahan daya cengkram sedikit sementara kenyamanan mengemudi, hydroplaning resistance, dan traksi anjlok. Harga yang harus dibayar juga lebih mahal. Jadi semakin besar tidak selalu semakin menguntungkan. Plus-sizing juga tidak direkomendasikan untuk SUV kecuali memang option dari pabriknya.

Karena itu, kalau sudah puas dengan handling dan kenyaman berkendara mobil anda, lembaga itu menyarankan untuk melupakan plus-sizing. Setia saja dengan OE.

Resiko Plus Sizing

Kalau tidak, mulailah dengan mempertimbangkan resikonya. Ban dengan peleg besar dan profil rendah memang responsive dikendarai di jalan mulus. Sebaliknya dijalan berlobang/kasar, ban tidak mampu meredam dengan sempurna. Pengendaraan jadi tidak nyaman. Karena itu jalanan di negeri ini masih harus �dimaklumi�, paling bijak kalau plus-sizing, jangan terlalu jauh dari ukuran ban OE.

Tidak saja menggerus kadar kenyaman berkendara, plus sizing berlebihan (plus two/ three keatas) juga mengancam keselamatan peleg. Pengujian Consumer Report pada plus two dan plus-three berakhir dengan rusaknya peleg dan ban.

Memilih Peleg

Kalau sudah tahu resikonya, dan tetap �emoh� dengan ban OE, tiba saatnya untuk mengunjungi toko ban/modifikator. Mereka akan menawarkan peleg dan ban yang cocok berdasarkan ban OE. Sebagai patokan, penambahan diameter peleg 1 inch, di padukan dengan menurunkan tebal dinding ban antara 5 � 10 persen dan penambahan lebar tapak ban 10 milimeter. Pastikan pula speed rating dan load rating ban baru harus lebih tinggi dari ban asli. Perlu diketahui, plus sizing selalu merubah overal diameter ban. Sulit agar sama persis dengan OE. Hal ini akan mempengaruhi banyak hal termasuk speedometer.

Periksa juga peleg yang di incar. Kebanyakan peleg ini dibuat dari aluminium atau campuran aluminium dan baja. Masalahnya kualitasnya sangat bervariasi dari yang nyaris sempurna hingga segetas tempayan. Untuk memeriksa, mulai dengan bertanya bagaimana peleg itu dibuat. Peleg tempa (forged wheel) paling kuat dan termahal. Pressure cast wheel juga cukup, selain lebih kuat juga lebih ringan dari peleg cetak (cast wheel). Peleg terakhir ini dibuat dengan mengalirkan cairan logam ke cetakan.

Setelah itu periksa juga pola baut-nya, pas ngak dengan yang ada pada mobil anda. Maka lupakan saja peleg dambaan hati kalau lobang-lobangnya ngak cocok. Penjual mungkin akan menawarkan semacam adaptor yang bisa mengakali lobang-lobang yang tidak sesuai ini. Hati-hati, ini solusi sesaat karena adaptor ini akan meningkatkan tegangan pada baut yang bisa longgar ketika dikendarai. Pastikan juga ban punya offset yang seusai spesifikasi mobil. Longok pula tapak ban yang melar apakah menggerus liang ban.

Memilih Modifikator

Sekarang periksa modifikator yang akan mengganti ban. Pilih yang berpengalaman dalam plus-sizing. Memilih bengkel yang tidak kompeten beresiko merusak ban dan peleg.

Pastikan garansi bila tidak puas atau ada kerusakan seperti ban menggerus liang ban atau speedometer ngaco.

Bengkelnya juga dilengkapi dengan wheel aligned untuk mencegah ban aus lebih awal. Demikian pula kemampuan menyesuaikan sistem suspensi yang harus beradaptasi dengan kaki-kaki baru.